Minggu, September 27, 2009

Mg Biasa XXVI : Bil 11:25-29;

Yak 5:1-6; Mrk 9:38-43.45.47- 48

Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita.”

Ketika saya bertugas sebagai
Ekonom Keuskupan Agung Semarang, sekaligus juga menjadi minister atau mengurusi
rumah tangga dan kantor keuskupan. Dalam hal keuangan, misalnya, semua
pengeluaran di luar kebutuhan rutine harus seizin saya. Waktu itu kebetulan
saya sedang ada tugas ke luar negeri selama kurang lebih dua minggu, begitu
pulang saya memperoleh info bahwa salah seorang pembantu rumah tangga keuskupan
telah dipanggil Tuhan. Sedih bercampur gembira yang saya alami: sedih karena
kehilangan pembantu rumah tangga baik, gembira dan bangga karena salah seorang
pegawai kantor keuskupan telah mengambil kebijakan bagus, yaitu membeayai seluruh
kebutuhan pemakaman dengan dana/uang kantor/rumah tangga keuskupan. Pegawai
tersebut telah melaknasakan tugas pekerjaan yang seharusnya menjadi
tanggungjawab saya, dengan kata lain ia bersama dan bersatu dengan saya,
membantu dan meringankan beban saya. Saya teringat akan peristiwa sebagaimana
saya ceriterakan secara singkat di atas ini setelah membaca dan merenungkan
kutipan Warta Gembira hari ini, antara lain: "Jangan kamu cegah dia! Sebab tidak seorang pun yang telah
mengadakan mujizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku.
Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita” (Mrk 9:39-40). Maka marilah kita renungkan
baik-baik kutipan Warta Gembira hari ini.



"Jangan
kamu cegah dia! Sebab tidak seorang pun yang telah mengadakan mujizat demi
nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku. Barangsiapa tidak melawan kita,
ia ada di pihak kita
.” (Mrk 9:39-40) 

Mereka yang tidak berani melawan
kita pada umumnya adalah mereka yang kurang kuat dari kita entah dalam hal
kedudukan, fungsi, jabatan, pengalaman, wibawa, kuasa dst.., misalnya anak-anak
kecil terhadap orangtuanya, pegawai atau buruh terhadap pimpinan atau boss-nya, bawahan terhadap atasan dst.. Mereka
yang kurang dari kita pada umumnya membantu kita, maka Yesus dengan cara lain
mengingatkan kita dengan sabdaNya : "Barangsiapa
menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil yang percaya ini, lebih baik
baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia dibuang ke
dalam laut.”(Mrk 9:42). Anak-anak kecil pada umumnya lebih baik dan lebih
suci daripada orangtuanya atau bapak-ibunya, demikian pula bawahan daripada
atasannya, anggota daripada pemimpinnya, dst.. , maka janganlah menyesatkan
mereka melainkan belajarlah pada atau layanilah mereka.



Memang di antara kita, para
orangtua, pemimpin atau atasan sering merasa dilangkahi atau dilecehkan ketika
anak-anak, anggota atau bawahan melakukan tugas pekerjaan yang sebenarnya
menjadi tanggungjawab kita. Jika ada anak-anak, anggota atau bawahan yang telah
melakukan tugas pekerjaan orangtua, pemimpin atau atasan, hendaknya orangtua,
pemimpin atau atasan berterima kasih kepada mereka. Dalam hal karya pelayanan pastoral seperti
sekolah, rumah sakit atau sosial, juga sering terjadi bahwa merasa karyanya
ditiru orang lain ketika ada pelayanan yang dilakukan kurang lebih sama atau
bahkan sama dengan pelayanan kita, dan juga merasa kecurian dan rugi karenanya.
Menurut saya jika karya pelayanan pastoral kita ditiru oleh kelompok lain
hendaknya berterima dan bersyukur, dan jadikan kesempatan tersebut sebagai provokasi
atau motor bagi kita untuk semakin meningkatkan kwalitas pelayanan pastoral
kita.



Segala bentuk mujizat berasal
dari Allah, merupakan karya Allah, dan dapat terjadi melalui siapapun dan
apapun. Buah dari mujizat pertama-tama dan terutama adalah keselamatan jiwa
manusia, maka dimana ada usaha penyelamatan jiwa berarti berasal dari Tuhan dan
dilakukan bersama dengan Tuhan, dengan demikian sebagai orang beriman hendaknya
kita mendukungnya dan berterima kasih atau usaha dan pelayanan penyelamatan
jiwa yang dilakukan oleh siapapun. Semakin bertambahnya iman, harapan dan cinta
juga merupakan mujizat yang berasal dari Tuhan atau karya Tuhan, demikian juga
pertobatan atau pembaharuan hidup.



Jadi
sekarang hai kamu orang-orang kaya, menangislah dan merataplah atas sengsara
yang akan menimpa kamu! Kekayaanmu sudah busuk, dan pakaianmu telah dimakan
ngengat! Emas dan perakmu sudah berkarat, dan karatnya akan menjadi kesaksian
terhadap kamu dan akan memakan dagingmu seperti api. Kamu telah mengumpulkan
harta pada hari-hari yang sedang berakhir. Sesungguhnya telah terdengar
teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil
ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang
menyabit panenmu
” (Yak 5:1-4).



Kutipan dari surat Yakobus di
atas ini kiranya baik menjadi bahan permenungan atau refleksi bagi ‘orang-orang
kaya’ yang mempekerjakan buruh atau pegawai, terutama para pengusaha atau
pejabat tinggi pemerintahan. Keberhasilan, kesuksesan, perkembangan dan
pertumbuhan usaha atau karya kiranya tak dapat dilepaskan dari peran dan
partisipasi para pegawai atau buruh, maka hendaknya diperhatikan kesejahteraan
hidup para pegawai atau buruh. Ingatlah dan hayatilah bahwa mereka bekerja
keras bukan hanya demi kepentingan diri mereka sendiri tetapi juga demi
keberhasilan, kesuksesan dan perkembangan usaha. Jika para pegawai atau buruh
kurang atau tidak sejahtera hidupnya, ada kemungkinan bahwa mereka kurang
gairah bekerja atau mencuri atau korupsi, dan dengan demikian usaha akan hancur
berantakan, sebaliknya jika mereka terjamin kesejahteraan hidup mereka bersama
dengan keluarga mereka, maka mereka akan bekerja keras, giat, jujur, disiplin
dst., dan dengan demikian usaha akan berhasil, sukses dan terus berkembang.



Kekayaan berupa aneka macam harta
benda atau uang adalah sarana, bukan
tujuan: sarana untuk membantu manusia dalam mengabdi, menghormati, memuji dan
memuliakan Tuhan dalam dan melalui hidup sehari-hari. “Harta benda atau uang harus terus berjalan-jalan” dalam rangka membantu
manusia semakin manusia dan beriman. “Berjalan-jalan” yang kami maksudkan adalah entah digandakan
dengan memfungsikannya untuk berusaha aneka macam produksi yang dibutuhkan oleh
manusia dalam rangka mengusahakan keselamatan jiwanya. ‘Harta benda atau uang
adalah jalan ke sorga atau ke neraka’, akan menjadi jalan ke sorga jika kita
memfungsikan harta benda atau uang sebagai sarana yang bersifat sosial, dan
akan menjadi jalan ke neraka jika kita memfungsikannya untuk berfoya-foya,
mengikuti gairah nafasu tak teratur.



Balas jasa atau gaji sesuai dengan UMR hemat saya merupakan
dukungan beaya bagi penerima gaji atau balas jasa agar tidak mati, namun tidak
atau kurang memadai bagi yang bersangkutan untuk hidup sejahtera lahir dan
batin, antara lain memiliki tempat tinggal/rumah sederhana (meskipun untuk
memperoleh dengan cara pinjam uang), makan dan minum bergizi, dapat membeayai
anak-anak untuk belajar ‘pendidikan menengah’ dan lulus atau selesai dengan
baik. Maka dengan ini kami mengharapkan para pengusaha sungguh memperhatikan
nasib dan kesejahteraan para pegawai, buruh atau pembantunya. Hendaknya jangan
menahan pemberian balas jasa sebagaimana telah ditentukan, atau menunda-nunda
pemberian balas jasa demi kepentingan diri sendiri. Baiklah jika kita semua
bermimpi atau bercita-cita seperti Musa ini: “Apakah engkau begitu giat mendukung diriku? Ah, kalau seluruh umat
TUHAN menjadi nabi, oleh karena TUHAN memberi Roh-Nya hinggap kepada mereka!"(Bil
11:29). Nabi adalah orang yang
penuh Roh Kudus, utusan Tuhan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa manusia.





Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu
teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman. Takut akan TUHAN
itu suci, tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum TUHAN itu benar, adil semuanya,”

(Mzm 19:8.10)

Jakarta,
27 September 2009

Tidak ada komentar: