Minggu, April 26, 2009

Pegawai Favorit, Pegawai Militan Trus Pegawai apalagi ya?

Beberapa waktu lalu di sebuah kantor Negeri Dreaming (sodaranya Negeri Impian) diadakan acara perpisahan pegawai yang mutasi dan pemilihan pegawai paling militan. Sebenarnya pemilihan pegawai militan ini merupakan metamorfosa dari pemilihan pegawai favorit.

Ceritanya kantor Negeri Dreaming ini mengadakan modernisasi besar2an untuk memperbaiki kinerjanya. Nah untuk memacu motivasi dan memberi reward pada para pegawai, dibikinlah acara Pemilihan Pegawai Favorit. Karena namanya pegawai favorit maka pegawai ini diseleksi berdasarkan pilihan terbanyak para pegawai dalam satu kantor. Jadi setiap kategori misalnya pelaksana, account representative, maupun pemeriksa dipilih satu orang yang paling difavoritkan oleh seluruh pegawai satu kantor karena kualitas dan kuantitas kerjanya yang dilihat, didengar dan dirasakan paling ciamik oleh karyawan sekantor.  

Tapi mungkin karena ada kejenuhan atau orientasi pegawai yang sudah mengalami pergeseran acara pemilihan pegawai ini sudah mulai tidak fair lagi. Tanda-tandanya sudah mulai nampak ketika satu orang pegawai yang “kurang disukai” oleh bawahan satu seksinya sukses terus menerus meraih penghargaan selama 5 kali berturut-turut. 

Tanda-tanda kejenuhan kedua muncul ketika beredar “telepon berantai” dari satu seksi ke seksi yang lain untuk memilih pegawai tertentu. Dan ekstrimnya pemilihan pegawai favorit yang terakhir memunculkan pemenang yang diluar dugaan. Apa yang terjadi? Ternyata pegawai yang meraih piala adalah para pegawai yang terkenal sebagai “teroris” di kantor. Sebenarnya ini sah sah saja karena judulnya adalah Pemilihan Pegawai Favorit . Jadi pegawai yang terpilih adalah yang menjadi favorit karyawan sekantor. Tapi kok ya favorit gara-gara “teroris” tadi. Apakah karena mereka memandang terorisme di kantor sebagai hal yang perlu dan semakin dibutuhkan. Hanya dalam hati pegawai satu kantor Negeri Dreaming yang tau.

Kembali ke Pemilihan Pegawai Militan tadi. Idenya mungkin berangkat dari Pemilihan Pegawai Favorit yang sudah melenceng dari visi n misinya. Maka diadakanlah Pemilihan Pegawai Militan. Namun mungkin karena ada kebijakan Pemilihan Pegawai Militan (disingkat PPM aja ya) baru diumumkan saat ada acara perpisahan tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Mungkin ini sebagai surprise dan sengaja para pegawai dinilai militanismenya secara diam-diam.

Dengan MC yang sedikit kocak akhirnya diumumkan juga pegawai-pegawai yang paling militan sekantor Negeri Dreaming. Akhirnya muncul lah nama nama pegawai sesuai dengan masing kriteria per seksi, per pelaksana, dan per fungsional. Namun saat MC mengumumkan alasan2 dibalik terpilihnya pegawai tersebut hatiku agak tersentil juga. Why?

Pertama alasan dibalik terpilihnya pegawai diantaranya karena pegawai tersebut sering memberi masukan (ke atasanya tentunya...), mencari tau hal hal yang tidak seharusnya dalam kapasitas orang tersebut untuk menjawabnya, dan ada seorang pegawai yang sakit namun masih sempat2nya nanya ke kantor pekerjaanya apa hari itu (kalo gak salah). Its fine alasan yang bagus. Tapi melihat kinerja sebenarnya pegawai tersebut rasanya kok tidak sesreg yang dimaksud militan. Sama sekali bukan karena penulis iri atau apa tapi ada yang mengganjal di hati. Pegawai Militan terlalu agung kayaknya untuk disematkan kalau dilihat dari kinerja sehari-hari mereka. Apakah karena pegawai yang kinerjanya biasa karena satu moment dan melakukan hal yang excelence jadi pegawai tersebut bisa disebut militan? Saya kok lebih setuju memilih pegawai yang kinerjanya keseluruhan diatas rata-rata secara konsisten daripada memilih pegawai dengan kinerja rata-rata trus karena dia melakukan sesuatu yang beda trus dipilih.

Kedua, fakta kalo dilihat memang para pegawai yang tentunya melakukan hal yang sama dengan alasan terpilihnya pegawai militan tersebut banyak dilakukan pegawai lain dan hal ini tidak terpantau. Banyak pegawai yang saya rasa berusaha mencari tahu hal hal yang tidak ia ketahui dan mungkin alasan lasan lain yang menyebabkan pegawai menjadi militan namun tidak diketahui tim penilai. Menurut sumber yang tidak dapat dipercaya (he he he..) pegawai militan dipilih berdasarkan usulan tim yang tidak diketahui pegawai sekantor. Faktor like and dislike kayaknya masih memainkan peranan disini (menurut saya dan beberapa temen) termasuk didalamnya faktor know n not know kinerja pegawai beredar disini.

Kalau boleh sekedar usul usil nih (minjem istilahnya tabloid BOLA favorit saya) ada beberapa hal yang mungkin bisa dijadikan pemikiran ke depan:

1. Knowing
Ajang PPM ini harus diketahui oleh semua pegawai, diumumkan siapa aja panitia pemilihnya. Diharapkan dengan adanya pengumuman ini semua pegawai menjadi tau, selanjutnya termotivasi, dan yang tidak kalah penting adalah kepada siapa dia bisa “memperlihatkan” kinerjanya agar PPM ini berjalan agak fair. Sehingga kinerja seluruh pegawai bisa terpantau oleh Tim Penilai dan peniaian bisa berjalan lebih fair.

2. Standar
Harus dibuat standar atau kriteria PPM. Hal ini disamping untuk mnegurangi faktor like dislike, dan menjaga integritas dari PPM itu sendiri. Dengan adanya standar yang jelas minimal pegawai mengetahui alasan dibalik terpilihnya pegawai militan. Selanjutnya ini akan menjadi motivasi bahwa untuk terpilih menjadi pegawai militan paling tidak harus memenuhi standar tersebut dan bahkan melampauinya. Standar tersebut bermacam-macam misalnya dilihat dari faktor kedisiplinan (absensi), kinerja penyelesaian pekerjaan yang terukur dan standar pelayanan. 

3. Tim Penilai
Akan lebih baik lagi jika pemilihan ini selain dilakukan oleh tim tertentu di kantor juga dilakukan oleh pihak diluar kantor . Penilaian yang dilakukan oleh pihak lain akan menjadikan PPM lebih fair dan netral apalagi jika faktor hubungan like n dislike dengan tim penilai bisa dihilangkan.

Memang tidak mudah membuat ajang kompetisi antar pegawai terutama untuk memotivasi pegawai agar dapat meningkatkan kinerjanya lebih baik. Ketidaktahuan pegawai, ketidakjelasan standar, dan sistem penilaian yang tidak jelas penulis rasa justru akan memukul balik kinerja karyawan. Disaat karyawan mulai tidak respek dan tidak dihargai menurunkan performa adalah jalan pintas untuk melawan kebijakan penilaian. Anomali yang sungguh ironis yang akan membalikkan PPM kembali ke “kinerja” Pemilihan Pegawai Favorit dimana karyawan justeru memilih pegawai yang berstatus “ teroris” di kantor. Teruskan atau rancang? pilihan yang kedua kayaknya perlu dilakukan jika ingin memilih pegawai yang benar benar militan di kantor Negeri Dreaming ini. 

Jual Beli Suara Pemilu di Kampung

Kayaknya sudah lama banget saya menepikan blog ini. Saat lagi gak ada kegiatan sambil nunggu BPL antara MU vs Totenham Hotspurs inilah saya punya kesempatan untuk mengupdate blog ini lagi. Tulisan yang ingin saya angkat adalah tentang adanya jual beli suara pemilu legislatif 9 April 2009.

Berhubung sebagai orang kantoran dan adanya bonus dimana tanggal 9 April dijadikan hari libur nasional maka saya sempatkan untuk mencontreng pada tanggal tersebut. Dengan pengorbanan naik bis Handoyo Malang-Semarang selama 8 jam dan ongkos Rp. 140-an jadilah saya ikut nyontreng di kampung. Kebetulan saya sampai di Semarang jam stengah enam pagi dan harus naik angkutan serta ojek sekali lagi untuk sampai di kampung melaksanakan kewajiban saya sebagai warga negara yang baik.

Sesuai dengan kebiasaan saya jika pulang kampung saya biasanya nonkrong tiap pagi di warung tetangga. Itung2 sarapan pagi sambil merefresh energi kekampungan saya yang sudah lowbatt selama di Malang. Tiba2 datang seorang ibu yang pulang dari TPS habis nyontreng. “Pye Lik milih sopo mau?” tanyaku sekedar basa basi padahal setiap pilihan orang kan rahasia he he he. “ Yo milih sing ngamplopi tho...” jawabnya polos dan sedikit bangga. “Wah ono sing ngamplopi tho” lanjutku mengorek keterangan dari ibu-ibu tadi. “ Ono kok Her, wong kidulan kono diamplopi kabeh kon milih si X”, katanya. O ternyata terjadi jual beli suara juga di kampung ini.Terkadang-kadang kita ragu kalo cuma denger dan liat dari berita di tv kalo ada suap menyuap jual beli suara selama pemilu. 

Fakta kedua terjadi di TPS. Waktu penulis datang sekitar jam 10 masih rame-ramenya para pemilih yang nyontreng. Setelah bersalaman dengan orang-orang yang datang di situ, akupun mnyerahkan surat panggilan pada PPS. Sambil menunggu giliran aku masih liat-liat gambar caleg karena ada banyak caleg dan aku gak tau apa yang akan kupilih. Disamping jarang pulkam akupun gak tau masing2 track record para caleg cause selama ini aku di Malang sedangkan para caleg kampanyanyenya di Kendal. “Ojo lali yo Her!” tiba-tiba ada yang nyeletuk di sebelahku. Penasaran dengan suara itu aku langsung menoleh. Ternyata suara itu berasal dari tetanggaku yang sehari harinya pekerjaannya menggembalakan itik. “Ojo lali karo sing ngendi ki Lik?” tanyaku sekedar mengetes mana calon yang direkomendasikannya. “ Sing iki!” katanya tegas sambil tersenyum menunjuk gambar calon yang didukungnya. “Beres!” kataku. Padahal tak ada niat sedikitpun dalam hatiku untuk memilih calon tersebut. Disamping aku gak tau track recordnya, caleg tersebut berasal dari partai antah berantah yang baru kulihat gambarnya. Daripada membuang2 suara mending kuberikan suaraku pada partai pilihanku yang sudah kudengar track recordnya dan kayaknya bakal terpilih.

Akhirnya dengan cekatan kucontreng calegku setelah menunggu sekian lama. Ternyata gampang buatku belum tentu gampang buat orang lain. Hansip PPS yang mencontrengpun kebingungan mencari calon yang harus di contreng. Karena walaupun sudah ngapalin dari luar fotonya. Ternyata di kertas suara yang muncul nama partai dan caleg bukan fotonya. Apalagi ditambah 4 kertas suara semakin kebingungan nampaknya para pemilih.

Keluar dari PPS aku tidak langsung pulang tetapi ngobrol2 dengan para pemilih yang sudah mencontreng. Langsung kudekati pria penggembala bebek yang tadi menyarankan aku untuk memilih salah satu caleg. Ternyata dia juga memantau orang2 yang telah diamplopinya apakah sudah memilih caleg yang direkomendasikan. Menurut dia pasti ada saja orang yang salah mencontreng dan orang2 ini akan mengurangi suara dan otomatis amplopnya harus ditarik karena tidak memilih calegnya karena suaranya hilang atau memilih calon lain. Benar juga setelah perhitungan suara dari sekitar 70-an orang yang diberi amplop ternyata hanya sekitar 50-an orang yang memilih caleg tersebut. Dan anehnya banyak orang yang memilih caleg di kertas suara tertentu sedangkan yang lain dikosongi. Alias mencontreng hanya di satu surat suara saja. Dasar orang kampung pikirku padahal aku sendiri masih orang kampung he he he..

Setelah perhitungan suara di desaku ternyata tiap2 TPS dimenangkan oleh partai yang berbeda-beda. Apa sebabnya? fakta ketiga berbicara. Dari keterangan Bapakku, ada yang satu TPS yang pemilihnya mendukung caleg dari partai tertentu karena gang2 di dusun pemilih tersebut diper keras dengan aspal dan beton oleh caleg tertentu. Dan caleg tersebut mendapat suara mayoritas di TPS yang bersangkutan.

Ya itulah dinamika demokrasi. Kadang2 orang kampungpun ingin berpesta dengan cara mereka sendiri. Mungkin inilah uang muka yang mereka minta dari para caleg sebelum mereka duduk di kursi legislatif. Daripada mereka tidak mendapat apa-apa dan dilupakan para caleg ketika mereka sudah duduk di kursi dewan, mending mereka meminta dibeli suaranya dan dapat uang atau fasilitas. Demokrasi memang sudah menjadi democrazy di negeri ini. Kembali ke jaman dulu, kalau dulu ada istilah barter barang sebelum adanya uang. Kini setelah adanya uang berubah menjadi barter suara dengan uang/fasilitas. Akankah ini terulang di pemilu presiden? Tunggu tanggal mainnya.