: Yes 35:4-7a; Yak 2:1-5; Mrk 7:31-37
“Terbukalah telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah
pengikat lidahnya, lalu ia berkata-kata dengan baik”
Ketika saya menghadiri pertemuan
Pengurus OIEC di Beirut, Libanon, di bandara saya akan dijemput oleh seorang
sopir (demikian info yang saya terima dari Panitia setempat). Karena kami belum
saling kenal, maka kami diminta menunjukkan nama kami masing-masing begitu
sampai di pintu keluar Bandara Beirut. Ternyata pengemudi yang menjemput hanya
dapat berbicara bahasa Arab dan saya sendiri tidak tahu bahasa Arab, maka dalam
berkomunikasi kami akhirnya menggunakan bahasa tubuh, antara lain dengan
tangan. Dengan kata lain kami berdua bagaikan orang bisu, karena setiap kali
berkomunikasi hanya menggunakan bahasa tubuh, dan dengan demikian memang tidak
dapat berkata-kata dengan baik. Bahasa, khususnya kata-kata memang merupakan
salah satu sarana komunikasi dan jika menguasai banyak bahasa kiranya kita akan
lebih mudah berkomunikasi dengan orang lain dan juga membaca aneka macam
tulisan dalam berbagai bahasa, dan dengan demikian kita akan diperkaya dalam
berbagai hal. Sekiranya kita tidak dapat melihat alias buta, tetapi dapat
mendengarkan dengan baik maka kita juga akan dapat berkata-kata dengan baik,
sebagaimana terjadi dalam diri Gus Dur. Maka baiklah pada hari Minggu Kitab
Suci Nasional hari ini kami mengajak kita semua untuk mawas diri perihal
‘pendengaran’ dan ‘omong-omong atau pembicaraan’ kita.
“Terbukalah
telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah pengikat lidahnya, lalu ia
berkata-kata dengan baik” (Mrk 7:35)
Indera ‘pendengaran’ merupkan
indera dari lima pancaindera yang
pertama kali berfungsi dalam diri setiap manusia; seorang bayi yang masih
berada di dalam rahim atau kandungan ibu sudah dapat mendengarkan aneka macam
suara di sekitarnya. Apa yang didengarkan akan sangat mempengaruhi perkembangan
dan pertumbuhan pribadi yang bersangkutan. Maka kami berharap dalam aneka
omongan atau pembicaraan bersama hendaknya diomongkan atau dibicarakan apa-apa
yang baik, sebagaimana dikatakan atau diomongkan oleh para guru/pendidik di
sekolah, para pastor/kyai/ pendeta dalam kotbah-kotbah, dst.. Dalam mengenangkan
Hari Minggu Kitab Suci Nasional ini kiranya baik jika setiap hari kita
membacakan dan mendengarkan sabda Tuhan sebagaimana tertulis di dalam Kitab
Suci.
Kitab Suci berisi tulisan-tulisan
yang ditulis dalam dan oleh ilham Allah. “Segala
tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan
kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam
kebenaran.”(2Tim 3:16). Dalam
membacakan atau mendengarkan sabda Tuhan dapat berpedoman pada Kalendarium
Liturgi, sebagaimana saya kutipkan setiap hari. Maka dengan rendah hati silahkan
jika tulisan atau renungan harian yang setiap kali saya kirimkan dibacakan dan
didengarkan bersama, misalnya di dalam keluarga atau tempat kerja. Salah
seorang membacakan dengan baik dan yang lain mendengarkan, kemudian diam
sejenak dan sekiranya ada yang tersentuh untuk berdoa dipersilahkan berdoa
secara spontan bergantian: entah merasa diajar, dinyatakan kesalahannya,
diperbaiki kelakuannya atau dididik dalam kebenaran. Setelah mendengarkan sabda
Tuhan dengan baik, maka kami percaya kita pasti akan berkata-kata dengan baik
juga.
“Kita semua dipanggil untuk
meneladan Yesus, yang "menjadikan segala-galanya baik, yang tuli
dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata. "(Mrk 7:37), maka dimanapun dan kapanpun ada yang
tidak baik kita dipanggil untuk memperbaiki dengan sekuat tenaga sesuai dengan
kemampuan dan kesempatan yang ada. Mungkin yang tulis secara phisik tidak
banyak atau bahkan jarang kita jumpai, tetapi yang kurang mendengarkan dengan
baik kiranya cukup banyak. Dalam berbagai acara bersama ketika ada orang
berbicara sering yang lain sibuk dengan diri sendiri antara lain dengan HP-nya
dan kurang mendengarkan mereka yang sedang berbicara dan berhak untuk
didengarkan. . Mendengarkan dengan baik merupakan keutamaan yang harus kita hayati
dan perdalam terus menerus, dan memang butuh kerendahan hati. Tanpa rendah hati
kita tidak akan dapat mendengarkan dengan baik. Jika kita dapat mendengarkan
dengan baik, maka kita juga akan dapat berkata-kata dengan baik juga.
“Dengarkanlah,
hai saudara-saudara yang kukasihi! Bukankah Allah memilih orang-orang yang
dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli
waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia?”
(Yak 2:5)
“Orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini” yang berarti miskin akan harta benda atau uang
memang tidak ada yang diharapkan di dunia ini , maka lebih mengharapkan
Penyelenggaraan Ilahi alias kebaikan, kemurahan hati dan belas kasih Allah
melalui saudara-saudarinya atau sesamanya. Dengan kata lain pada umumnya mereka
memang ‘menjadi kaya dalam iman’. Pengalaman
melalui atau dalam berbagai macam
pelayanan pastoral menunjukkan kebenaran
ini. Orang-orang kaya pada umumnya cukup rewel dan penuh hitungan alias nampak
pelit, sehingga membuat jengkel mereka yang melayani, sebaliknya orang-orang
miskin pada umumnya penuh terima kasih dan syukur atas pelayanan yang telah
diterimanya. Contoh konkret lain: orang-orang miskin kepanasan karena sengat
panas matahari atau kehujanan tidak mengeluh atau menggerutu, sebaliknya orang-orang kaya pasti
mengeluh dan menggerutu.
Pengalaman para pelajar,
siswa-siswi, SMP/SMA Kanisius dan SMA St.Ursula – Jakarta misalnya, yang
menjalani ‘live in’, tinggal di
tengah-tengah orang miskin di desa dan pegunungan selama beberapa hari juga
menjadi contoh konkret bahwa “Allah
memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya
dalam iman”. Mereka mendengarkan dan
melihat sendiri cara hidup dan cara bekerja orang-orang miskin, dan mereka
sungguh merasa banyak belajar perihal keutamaan-keutamaan atau nilai-nilai
kehidupan, seperti ‘bekerja keras, sabar,
murah hati, ramah, bersaudara, tidak mengeluh dan menggerutu ketika harus
bekerja berat, dst..”. Mereka yang
memiliki pembantu rumah tangga yang baik kiranya juga dapat mawas diri:
mendengarkan dan melihat apa yang terjadi dalam diri para pembantu rumah tangga
yang baik tersebut.
“Katakanlah kepada orang-orang yang tawar hati: "Kuatkanlah hati,
janganlah takut! Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan
ganjaran Allah. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu!" Pada waktu itu mata
orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka.
Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu
akan bersorak-sorai; sebab mata air memancar di padang gurun, dan sungai di padang belantara;
35:7 tanah pasir yang hangat akan menjadi kolam, dan tanah kersang
menjadi sumber-sumber air” (Yes 35:4-7a). Apa yang dikatakan oleh Yesaya ini
kiranya juga dapat menjadi pedoman atau acuan hidup dan cara bertindak kita.
Marilah kita perhatikan dan sapa dengan kasih dan rendah hati saudara-saudari
kita yang tawar hati, yang berarti tidak atau kurang bergairah dalam hidup dan
bertindak atau takut.
“TUHAN membuka mata orang-orang buta, TUHAN menegakkan orang yang
tertunduk, TUHAN mengasihi orang-orang benar. TUHAN menjaga orang-orang asing,
anak yatim dan janda ditegakkan-Nya kembali, tetapi jalan orang fasik
dibengkokkan- Nya” (Mzm 146:8-9)
Jakarta,
6 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar