Selasa, September 08, 2009

Mg Biasa XXIII(Mg Kitab Suci Nasional)

 : Yes 35:4-7a; Yak 2:1-5; Mrk 7:31-37

 

“Terbukalah telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah

pengikat lidahnya, lalu ia berkata-kata dengan baik”

 

 

 

Ketika saya menghadiri pertemuan

Pengurus OIEC di Beirut, Libanon, di bandara saya akan dijemput oleh seorang

sopir (demikian info yang saya terima dari Panitia setempat). Karena kami belum

saling kenal, maka kami diminta menunjukkan nama kami masing-masing begitu

sampai di pintu keluar Bandara Beirut. Ternyata pengemudi yang menjemput hanya

dapat berbicara bahasa Arab dan saya sendiri tidak tahu bahasa Arab, maka dalam

berkomunikasi kami akhirnya menggunakan bahasa tubuh, antara lain dengan

tangan. Dengan kata lain kami berdua bagaikan orang bisu, karena setiap kali

berkomunikasi hanya menggunakan bahasa tubuh, dan dengan demikian memang tidak

dapat berkata-kata dengan baik. Bahasa, khususnya kata-kata memang merupakan

salah satu sarana komunikasi dan jika menguasai banyak bahasa kiranya kita akan

lebih mudah berkomunikasi dengan orang lain dan juga membaca aneka macam

tulisan dalam berbagai bahasa, dan dengan demikian kita akan diperkaya dalam

berbagai hal. Sekiranya kita tidak dapat melihat alias buta, tetapi dapat

mendengarkan dengan baik maka kita juga akan dapat berkata-kata dengan baik,

sebagaimana terjadi dalam diri Gus Dur. Maka baiklah pada hari Minggu Kitab

Suci Nasional hari ini kami mengajak kita semua untuk mawas diri perihal

‘pendengaran’ dan ‘omong-omong atau pembicaraan’ kita.

 

 

 

“Terbukalah

telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah pengikat lidahnya, lalu ia

berkata-kata dengan baik” (Mrk 7:35)

 

 

 

Indera ‘pendengaran’ merupkan

indera dari lima pancaindera yang

pertama kali berfungsi dalam diri setiap manusia; seorang bayi yang masih

berada di dalam rahim atau kandungan ibu sudah dapat mendengarkan aneka macam

suara di sekitarnya. Apa yang didengarkan akan sangat mempengaruhi perkembangan

dan pertumbuhan pribadi yang bersangkutan. Maka kami berharap dalam aneka

omongan atau pembicaraan bersama hendaknya diomongkan atau dibicarakan apa-apa

yang baik, sebagaimana dikatakan atau diomongkan oleh para guru/pendidik di

sekolah, para pastor/kyai/ pendeta dalam kotbah-kotbah, dst.. Dalam mengenangkan

Hari Minggu Kitab Suci Nasional ini kiranya baik jika setiap hari kita

membacakan dan mendengarkan sabda Tuhan sebagaimana tertulis di dalam Kitab

Suci.

 

 

 

Kitab Suci berisi tulisan-tulisan

yang ditulis dalam dan oleh ilham Allah. “Segala

tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan

kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam

kebenaran.”(2Tim 3:16). Dalam

membacakan atau mendengarkan sabda Tuhan dapat berpedoman pada Kalendarium

Liturgi, sebagaimana saya kutipkan setiap hari. Maka dengan rendah hati silahkan

jika tulisan atau renungan harian yang setiap kali saya kirimkan dibacakan dan

didengarkan bersama, misalnya di dalam keluarga atau tempat kerja. Salah

seorang membacakan dengan baik dan yang lain mendengarkan, kemudian diam

sejenak dan sekiranya ada yang tersentuh untuk berdoa dipersilahkan berdoa

secara spontan bergantian: entah merasa diajar, dinyatakan kesalahannya,

diperbaiki kelakuannya atau dididik dalam kebenaran. Setelah mendengarkan sabda

Tuhan dengan baik, maka kami percaya kita pasti akan berkata-kata dengan baik

juga.

 

 

 

“Kita semua dipanggil untuk

meneladan Yesus, yang  "menjadikan segala-galanya baik, yang tuli

dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata. "(Mrk 7:37), maka dimanapun dan kapanpun ada yang

tidak baik kita dipanggil untuk memperbaiki dengan sekuat tenaga sesuai dengan

kemampuan dan kesempatan yang ada. Mungkin yang tulis secara phisik tidak

banyak atau bahkan jarang kita jumpai, tetapi yang kurang mendengarkan dengan

baik kiranya cukup banyak. Dalam berbagai acara bersama ketika ada orang

berbicara sering yang lain sibuk dengan diri sendiri antara lain dengan HP-nya

dan kurang mendengarkan mereka yang sedang berbicara dan berhak untuk

didengarkan. . Mendengarkan dengan baik merupakan keutamaan yang harus kita hayati

dan perdalam terus menerus, dan memang butuh kerendahan hati. Tanpa rendah hati

kita tidak akan dapat mendengarkan dengan baik. Jika kita dapat mendengarkan

dengan baik, maka kita juga akan dapat berkata-kata dengan baik juga.

 

 

 

“Dengarkanlah,

hai saudara-saudara yang kukasihi! Bukankah Allah memilih orang-orang yang

dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli

waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia?”

(Yak 2:5)

 

   

 

“Orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini”  yang berarti miskin akan harta benda atau uang

memang tidak ada yang diharapkan di dunia ini , maka lebih mengharapkan

Penyelenggaraan Ilahi alias kebaikan, kemurahan hati dan belas kasih Allah

melalui saudara-saudarinya atau sesamanya. Dengan kata lain pada umumnya mereka

memang ‘menjadi kaya dalam iman’. Pengalaman

melalui atau  dalam berbagai macam

pelayanan pastoral  menunjukkan kebenaran

ini. Orang-orang kaya pada umumnya cukup rewel dan penuh hitungan alias nampak

pelit, sehingga membuat jengkel mereka yang melayani, sebaliknya orang-orang

miskin pada umumnya penuh terima kasih dan syukur atas pelayanan yang telah

diterimanya. Contoh konkret lain: orang-orang miskin kepanasan karena sengat

panas matahari atau kehujanan tidak mengeluh atau  menggerutu, sebaliknya orang-orang kaya pasti

mengeluh dan menggerutu.

 

 

 

Pengalaman para pelajar,

siswa-siswi, SMP/SMA Kanisius dan SMA St.Ursula – Jakarta misalnya, yang

menjalani ‘live in’, tinggal di

tengah-tengah orang miskin di desa dan pegunungan selama beberapa hari juga

menjadi contoh konkret bahwa “Allah

memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya

dalam iman”.  Mereka mendengarkan dan

melihat sendiri cara hidup dan cara bekerja orang-orang miskin, dan mereka

sungguh merasa banyak belajar perihal keutamaan-keutamaan atau nilai-nilai

kehidupan, seperti ‘bekerja keras, sabar,

murah hati, ramah, bersaudara, tidak mengeluh dan menggerutu ketika harus

bekerja berat, dst..”.  Mereka yang

memiliki pembantu rumah tangga yang baik kiranya juga dapat mawas diri:

mendengarkan dan melihat apa yang terjadi dalam diri para pembantu rumah tangga

yang baik tersebut.

 

 

 

“Katakanlah kepada orang-orang yang tawar hati: "Kuatkanlah hati,

janganlah takut! Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan

ganjaran Allah. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu!" Pada waktu itu mata

orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka.

Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu

akan bersorak-sorai; sebab mata air memancar di padang gurun, dan sungai di padang belantara;

 

35:7 tanah pasir yang hangat akan menjadi kolam, dan tanah kersang

menjadi sumber-sumber air”   (Yes 35:4-7a). Apa yang dikatakan oleh Yesaya ini

kiranya juga dapat menjadi pedoman atau acuan hidup dan cara bertindak kita.

Marilah kita perhatikan dan sapa dengan kasih dan rendah hati saudara-saudari

kita yang tawar hati, yang berarti tidak atau kurang bergairah dalam hidup dan

bertindak atau takut.

 

 

 

“TUHAN membuka mata orang-orang buta, TUHAN menegakkan orang yang

tertunduk, TUHAN mengasihi orang-orang benar. TUHAN menjaga orang-orang asing,

anak yatim dan janda ditegakkan-Nya kembali, tetapi jalan orang fasik

dibengkokkan- Nya” (Mzm 146:8-9)

 

 

 

Jakarta,

6 September 2009

Tidak ada komentar: