Kamis, September 24, 2009

Mg Biasa XXV : Keb 2:12.17-20; Yak 3:16-4:3; Mrk 9:30-37

"Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia
menyambut Aku”



Kelahiran atau kedatangan seorang
anak pada umumnya merubah suasana lingkungan hidup, dan peran anak kiranya juga
cukup dominan dalam merubah atau mempengaruhi cara hidup dan cara bertindak
orang dewasa atau orangtuanya. Sekelompok orangtua atau orang dewasa yang
sedang asyik dan ramai omong-omong, ngobrol sana-sini dan pada umumnya diwarnai
bau porno, ketika ada anak kecil datang maka mereka spontan merubah isi omongan
atau obrolan. Anak-anak TK akan merubah perilaku guru-gurunya lebih daripada
anak-anak/siswa- siswi SMA terhadap guru-gurunya. Para
guru TK mau tidak mau harus memaksakan diri untuk hadir sedemikian rupa di
hadapan anak-anak atau peserta didiknya agar diterima oleh anak-anak. Mereka
harus rendah hati, lemah lembut, sabar, ramah, ceria terhadap anak-anak. Kehadiran atau kelahiran anak pertama di
dalam keluarga akan merubah cara hidup ayah dan ibunya, terutama sang ibu. Menyambut kehadiran seorang anak memang butuh
kerendahan hati, dimana orang harus melepaskan aneka atribut atau ‘jati diri’
untuk menyamakan diri pada anak, dengan kata lain berusaha menjadi sama dengan
anak.



Yesus
mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka,
kemudian Ia memeluk anak itu dan berkata kepada mereka: "Barangsiapa
menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan
barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus
Aku
."(Mrk 9:36-37)



Ketika Yesus mengatakan kepada
para murid bahwa Ia akan menderita dan wafat alias meninggalkan mereka, maka
timbullah pikiran dalam diri mereka “Siapa yang akan mengganti Yesus untuk
memimpin kita alias siapa yang terbesar di antara kita”. Menanggapi pikiran
mereka itu Yesus mengambil dan menempatkan seorang anak kecil ke tengah-tengah
mereka serta memeluknya serta mengingatkan mereka bersikap seperti sedang “menyambut seorang anak kecil”. Anak kecil sedikit banyak hampir sama dengan
‘binatang’, dimana jika didekati dalam dan diperlakukan dengan cintakasih pasti
akan takluk dan bersahabat. Maka marilah dalam cara hidup dan cara bertindak
kita dimanapun dan kapanpun senantiasa dijiwai oleh cintakasih.



Semua ciptaan di dunia ini ada
dan diciptakan dalam dan oleh kasih Allah. Setiap manusia, setiap dari kita
diciptakan dalam dan oleh kasih Allah yang bekerjasama dengan atau dengan
partisipasi orangtua atau bapak-ibu kita masing-masing yang saling mengasihi
satu sama lain dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap
kekuatan/tubuh, yang antara lain memuncak dalam hubungan seksual. Para
bapak-ibu atau suami-isteri kiranya dapat membagikan pengalamannya bagaimana
saling menyambut dalam rangka memadu kasih atau hubungan seksual, kiranya
masing-masing menyikapi pasangannya sebagai anugerah Allah, kado dari Allah,
sehingga saling memuji, menghormati, membahagiakan, dst.. Suami dan isteri
saling memeluk dalam kasih dan kehangatan yang mesra. Kita semua dipanggil untuk
bersikap seperti ibu yang sedang memeluk anaknya, yang sering disertai dengan
pujian mesra pada anaknya.



Mungkin baik kita juga
berrefleksi perihal kata ‘menyambut”. Orang
yang akan ‘menyambut seseorang’ atau ‘memberi sambutan’ pada umumnya tampil sedemikian
rupa sehingga menarik dan memikat bagi orang lain, yang disambut. Kata-kata
awal yang muncul antara lain: Selamat datang, Yang terhormat dan yang terkasih,
dst.. Hari-hari ini saudara-saudari kita mungkin juga sedang dalam ‘saling
menyambut’ dengan saudara, sahabat dan kenalan dalam rangka mudik, merayakan
Idul Fitri, hari-hari yang ditandai oleh persaudaraan dan persahabatan sejati.
Semoga pengalaman-pengalam an dalam saling menyambut ini terus menjiwai cara
hidup dan cara bertindak kita, dimana tidak ada satu orangpun yang
berpikir-pikir siapa yang terbesar di antara kita, tetapi semuanya berpikir
bahwa kita sama-sama saudara: berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.



Di
mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala
macam perbuatan jahat.Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni,
selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang
baik, tidak memihak dan tidak munafik
”(Yak 3:16-17).

Kutipan di atas ini hemat saya
bagus untuk kita renungkan bersama. Di mana terjadi kekacauan hidup dan kerja
bersama serta segala macam perbuatan jahat berarti ada orang diri hati dan
mementingkan diri sendiri di dalamnya, entah itu di dalam keluarga, tempat
kerja/kantor atau masyarakat umum. Pertama-tama dan terutama hemat saya perlu
direfleksikan hidup bersama yang paling dasar, yaitu keluarga atau komunitas
(biara, pastoran atau tempat kerja sehari-hari) . Apakah terjadi kekacauan atau
kejahatan di dalam hidup bersama yang paling dasar ini? Apakah saya pribadi iri
hati atau mementingkan diri sendiri, sehingga saya sebenarnya yang menjadi
sumber kekacauan? Apakah saya memihak dan munafik?



Kita semua dipanggil untuk
menjadi ‘pendamai, peramah, penurut,
penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik’.

·
Pendamai pada umumnya bersikap
konstruktif, yaitu “sikap dan perilaku
yang bersifat membina dan membangun ke arah tujuan-tujuan yang positif” (Prof
Dr. Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai
Pustaka-Jakarta 1997, hal 13). Sikap dan perilaku ini pertama-tama dan terutama
diwujudkan dalam hubungannya dengan diri sendiri.

·
Peramah berarti menghayati keutamaan
ramah tamah, yaitu “sikap dan perilaku
dengan budi bahasa yang baik, tutur kata dan sikap manis. Ini diwujudkan dalam
perilaku yang menyenangkan, menenangkan, serta membuka pintu kepada orang
lain. Perilaku ini diwujudkan dalam
hubungannya dengan diri sendiri dan keluarga” (ibid hal 23). Budi bahasa memang mencerminkan
kwalitas kepribadian seseorang, maka baiklah hal ini dibiasakan atau dibinakan
sedini mungkin pada anak-anak di dalam keluarga dan tentu saja diiringi teladan
orangtua/bapak- ibu.

·
Apa yang dimaksudkan dengan penurut kiranya bukan
berarti menuruti atau mengikuti apa atau siapa saja, entah keinginan, nafsu,
kehendak diri sendiri atau orang lain, tetapi diharapkan menuruti atau
mengikuti apa yang baik dan menyelamatkan atau membahagiakan. Di dalam hidup
bersama ada tatanan atau aturan hidup, entah tertulis atau lisan sebagai
tradisi, dan pada umumnya aturan atau tatanan tersebut bertujuan baik, ke arah
tujuan yang positif. Maka marilah kita taati dan laksanakan sepenuhnya aneka
aturan dan tatanan hidup yang terkait dengan hidup, panggilan dan tugas
pengutusan kita masing-masing.

·
Penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik
hemat saya merupakan dampak atau hasil dari penghayatan- penghayatan
keutamaan-keutamaan di atas. Apa yang disebut baik senantiasa berlaku secara
universal atau umum, dimana saja dan kapan saja. Belas kasihan merupakan unsur
dari rasa kasih sayang. “Rasa kasih sayang adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan kepekaan, kepedulian,
dan belas kasihan kepada orang lain atau makhluk yang tidak berdaya dan perlu
dibantu”

Marilah keutamaan-keutamaan di
atas kita hayati bersama dan sebarluaskan. Sekali lagi kami ingatkan semoga
penghayatan keutamaan-keutamaan tersebut terjadi dalam hidup bersama yang
paling dasar, dimana kita hidup sehari-hari, entah keluarga atau komunitas dan
tempat kerja.



Ya Allah, selamatkanlah aku karena nama-Mu, berilah keadilan kepadaku
karena keperkasaan- Mu! Ya Allah, dengarkanlah doaku, berilah telinga kepada
ucapan mulutku! Sebab orang-orang yang angkuh bangkit menyerang aku,
orang-orang yang sombong ingin mencabut nyawaku; mereka tidak mempedulikan
Allah. Sesungguhnya, Allah adalah penolongku; Tuhanlah yang menopang aku.


(Mzm 54:3-6)

Jakarta,
20 September 2009

“SELAMAT IDUL FITRI, 1 SYAWAL 1430 H, MAAF LAHIR DAN BATIN”

Tidak ada komentar: