Senin, Maret 16, 2009

Friday The 13th Mbah Sarendi

Usianya sudah 70 tahun tapi orangnya masih gesit. Biasanya dia masih mengenakan topi coklat dan duduk di balai-balai depan rumah sambil mengerjakan anyaman besek dengan isteri setianya. Walaupun keduanya sudah tua tapi tidak mau menggantungkan diri pada anak-anaknya. Besek itulah penghasilan untuk menyambung hidupnya. Selain beberapa buah kambing di samping rumahnya.

 Aku mengenalnya ketika dia sering berbincang akrab dengan Bapakku ketika mau berangkat ato pulang dari masjid di samping rumah kami. Menurut cerita Bapak kampung asal Mbah Sarendi dan Bapak di Jogja letaknya berdekatan hanya berbeda desanya saja. Mungkin karena merasa senasib sebagai seorang perantau yang jauh dari kampung asalnya menjadikan mereka begitu akrab.

 Masih ingat waktu SD dulu kalo istirahat aku bermain main ke rumahnya. Mengingat jarak antara rumah Mbah Sarendi dan SD-ku cuma duapuluhan meter saja. Biasanya kami pergi ke rumahnya sekedar meminta minum atau melihat dia menanam sayur-mayur di depan rumahnya. Tetapi pengalaman yang paling mengasyikkan adalah ketika musim buah jambu monyet tiba. Hampir setiap hari kami maen ke tempatnya. Begitu kami datang, beliau dengan sigap mengambil batang bambu di belakang rumahnya seakan sudah paham dengan kedatangan kami. Apalagi kalo bukan untuk meminta buah jambu monyet darinya.

 Pohon jambu monyet itu begitu besar. Inilah satu satunya pohon jambu monyet di desaku dan satu satunya yang berbuah lebat ketika musimnya tiba. Hanya orang dewasa dan pandai memanjat pohon yang sanggup menaikinya. Kami sebagai anak-anak SD waktu itu tentu saja tidak bisa menaikinya. Jadi galah panjang dari bambulah andalan Mbah Sarendi untuk memetikkan jambu monyet bagi kami. Biasanya kami bersiap-siap disampingnya untuk menangkap jambu monyet jika sewaktu-waktu jambu monyet itu terlepas dari galah dan jatuh ke tanah. Inilah yang semakin menambah riuh-rendah serta ramainya rumah Mbah Sarendi kalo pas istirahat sekolah tiba dan lagi musim jambu monyet.

 Setelah terkumpul seember kecil jambu monyet biasanya kami membawanya ke sumur di samping rumahnya untuk mencuci getah atau tanah yang menempel. Setelah benar-benar bersih kami membawanya ke balai-balai bambu yang ada di depan rumahnya. Istrinya segera ke dapur biasanya untuk mengambil uyah atau garam. Lalu beliau yang mengupas dan menyayat jambu monyet yang telah dipetik. Setiap anak mendapat bagian yang sama rata dan makannya cukup dioleskan ke garam dan dimakan. 

 Waktu itu jambu monyet yang sepet-sepet asinpun jadi terasa enak bila dimakan bersama-sama dengan beliau. Ada keceriaan dan keramaian di rumah beliau yang sepi ketika anak-anak datang meminta jambu monyet. Setelah kenyang beliaupun mengingatkan kami untuk kembali ke sekolah melanjutkan sekolah lagi. Beliaupun tak pernah meminta bayaran sepeserpun atas buah jambu monyet yang kami makan. Dan anehnya pohon jambu monyet yang gede itu tak pernah habis habisnya berbuah dan ada saja yang matang tiap harinya.

 Setelah musim jambu monyet berlalu rumah itupun sepi lagi. Tinggal Mbah Sarendi sendiri dan isterinya yang selalu duduk mengerjakan anyaman besek sebagai pendapatan sehari-hari mereka untuk menyambung hidup. Paling-paling setiap pulang kami mampir ke rumahnya untuk melihat keduanya mengerjakan anyaman besek atau meminta air minum sekedar pelepas dahaga sepulang sekolah.
 Beberapa tahun berlalu tak terasa waktu itu aku sudah SMA. Sengaja aku memilih SMA di kota Semarang karena jarak desaku desaku dengan SMA terdekat cukup jauh. Akupun ngekos di kota Semarang dan sebulan sekali mengambil jatah untuk sekolah dan mbayar kosku.

 Suatu hari aku pulang dari Semarang naek angkutan umum menuju rumahku. Setiap melewati rumah Mbah Sarendi aku pasti menengok rumahnya walaupun tidak turun dari mobil . Rumahnya memang di pinggir jalan besar dan dibelokan tepatnya. Sehingga setiap kendaraan yang lewat mesti pelan-pelan waktu melewati depan rumahnya termasuk angkutan umum yang aku tumpangi waktu itu. Begitu sampai di depan rumahnya pandangaku kularikan keluar jendela mobil. Ternyata dia sedang berdiri di pinggir jalan, dia tersenyum kepadaku dan melambaikan tangan seakan-akan dia mengajakku untuk mampir dan singgah di rumahnya. Herannya ketika kutengok rumahnya rumah itu sedang ramai banyak orang yang sedang berkunjung ke rumahnya. Ada apa pikirku dalam hati. Apa ada acara syukuran tahlilan yang biasa dilakukan penduduk di kampungku. 

 Sesampai di depan gang aku langsung turun melompat dari angkutan yang kutumpangi. Perlu berjalan sepuluh meteran masuk gang untuk menuju rumahku. Kuketuk pintu rumahku, Bapakkupun membuka pintu sambil bertanya mengapa aku tiba-tiba pulang ke rumah. “Biasa Pak ngambil jatah bulanan” kataku. Kulihat ibuku kaluar dari kamar dan berpakaian kebaya hitam. Dengan dipenuhi rasa penasaran langsung saja aku bertanya ibu mau kemana. Betapa terkejutnya aku ketika ibuku bilang “ Lohh kamu gak ngerti tho kalo Mbah Sarendi meninggal tadi pagi? Ini Ibu kan mau melayat ke rumahnya”. “ Masak sih, aku tadi melihat Mbah Sarendi di depan rumah tersenyum dan melambaikan tangan. “ Iya meninggal tadi pagi habis sholat subuh”, kata ibuku berargumen. Lha berarti siapa yang berdiri dan melambaikan tangan tadi. Langsung lemas badanku mengetahui beliau sudah tidak ada lagi. Mungkin beliau mau mengucapkan selamat tinggal padaku dengan menampakkan diri untuk terakhir kalinya. Only God know.....


Mbah Sarendi Selamat Jalan Ya Mbah Semoga Mbah diterima di sisi-Nya dan hidup bahagia di surga-Nya. Amin

Riverside, Jumat Kliwon, 13 Pebruari 2009 jam 8.49 PM Friday The 13th.

Tidak ada komentar: