Kamis, Mei 07, 2009

Berjuang Menghadapi Sakit

Menderita penyakit serius adalah pengalaman sangat khusus yang dapat menumbuhkan pemahaman spiritual mendalam tentang hidup.
Penyesuaian diri menghadapi sakit penuh dengan pengalaman emosi naik turun yang tidak jarang membuat haru biru penderita dan orang-orang terdekatnya.
 
Ada banyak sekali aspek kehidupan yang dapat berubah, dibarengi munculnya berbagai penghayatan psikologis, mulai dari kekagetan, rasa tidak percaya, kemarahan, perasaan kecil hati, hingga keputusasaan. Persoalan dapat menjadi pelik karena di satu sisi situasi sakit mengeruk dana yang dapat sangat besar untuk penyembuhan, sementara di sisi lain, penghasilan justru jauh berkurang.
 
Ada yang selalu ingin bercerita untuk memperoleh penguatan dari lingkungan, ada pula yang justru menutup diri karena tidak tahan membayangkan dipandang dengan tatap mata "kasihan". 
 
Pengalaman sahabat

 Seorang sahabat yang saya sayangi, sebut saja Nisda (30), mengizinkan saya membagikan ceritanya.

 

"Bukan maksudku menyembunyikan sakitku. Tertutup itu tidak enak. Tetapi, sulit menceritakan sesuatu yang kita sendiri belum siap menerima. Orang pertama diluar aku dan suamiku yang tahu adalah seniorku. Dia mau bagi-bagi tugas kerja. Aku terpaksa bilang, ada saat-saat di mana saya tidak mungkin hadir karena operasi tumor. Kayaknya beliau kaget, tetapi tidak bertanya lagi. Aku lega. Yang sulit waktu aku harus minta izin ke atasanku. Aku malas bilang alasannya karena takut nangis. Waktu aku cerita, aku jadi nangis. Aku benci karena jadi merasa cemen dan lemah. Aku enggak sanggup kalau harus ditatap dengan kasihan, atau sekadar ditanya, karena mungkin aku belum accept kondisiku... "

 

Mengalami sakit serius dengan berbagai implikasinya bukan merupakan hal mudah. Kadang kecemasan yang muncul merupakan hal yang dianggap sepele, yang membuat jengkel diri sendiri.

 

"Yang membuat aku kini cemas adalah soal penampilan. Aku merasa jelek. Aku sedih banget, cemas kalau tetap seperti ini. Tetapi, aku juga malu banget punya perasaan kayak gini. Kok aku cemen banget, mengurusi hal remeh-temeh begini, soal penampilan dan kekurang nyamanan yang minor.

 

Mempertahankan harapan menjadi hal yang kadang sulit dilakukan.

 

"Aku sebetulnya orang yang yang keras kepala dan cukup gigih, tetapi mempertahankan harapan adalah hal berbeda. Buatku kini harapan seperti lilin di kejauhan yang kadang tergoyang angin. Perlu usaha cukup besar untuk mempertahankannya. ..."

 

Naik-turun emosi cukup sering terjadi, kadang penuh harapan dan optimisme, kadang muncul perasaan kecewa dan marah, termasuk kepada dokter yang tidak memberi informasi detail atau dirasa tak menyadari situasi genting yang dihadapi. Orang-orang terdekat perlu lebih memahami hal ini dan melihatnya sebagai sesuatu yang wajar dan menjadi bagian dari pemulihan.

 

Walau ada banyak perasaan negatif, kadang ada banyak pula perasaan positif.

 

"Setelah operasi, aku belajar hal baru. Tentang cinta yang banyak tercurah bagiku. Aku baru tahu suamiku mencintaiku sedalam itu. Ia menangis untukku, menjagaku, merawatku, memandikanku, membasuhku, nyuapin, menghiburku, membuat mimik-mimik konyol supaya aku tertawa. Ayahku tak henti-hentinya melafalkan doa, ibuku menangis untukku. Sahabat-sahabat berkunjung menghibur aku, suamiku, ibuku...Betapa aku dikelilingi banyak cinta".

 

Bersyukur  
 
Di satu sisi banyak penderita ngeri membayangkan kematian, di sisi lain ada rasa syukur yang besar karena masih diberi hidup dan keinginan yang dalam untuk dapat menikmati sepuasnya.
 
"Aku ngeri menghadapi kematian. Yang paling aku sedih dari kematian adalah kehilangan hubungan, terutama dengan anak-anakku. Karenanya, aku mulai sungguh-sungguh menikmati hubungan dengan anak-anakku, orang tuaku, suamiku, teman-teman kerjaku. Saat aku menyempatkan diri ke kantor, aku dengan konyolnya memandangi ruangan kerjaku, menikmati kordennya, lemari, meja kerja teman-temanku yang penuh dengan kertas, ruang rapat yang sepi,lapangan parkir..."

 

Bagaimana menghadapi pikiran-pikiran tentang kematian?

 

"Aku belajar betapa fananya raga ini. Dalam ketakutanku menghadapi kematian, aku ingat kata-kata seseorang tentang kematian yang bisa indah. Aku mulai memandang kematian adalah kedamaian, situasi yang tenang saat beristirahat. ..melepaskan pikiran dari hiruk pikuk dunia, istirahat dari tanggung jawab..Bila memang sudah waktuku, aku ikhlas. Bila memang tugasku hanya sampai disini, aku percaya Tuhan mengatur yang terbaik."

 

Meski demikian, ia bertekad akan melakukan segalanya yang terbaik untuk memperjuangkan hidup. Orang-orang terdekat juga perlu memberikan dukungan optimal.

 

"Aku belum ingin beristirahat dari tanggung jawab sebagai ibu. Aku berdoa agar diberi kesempatan untuk bersama anak-anak, membesarkan mereka, aku percaya Tuhan mengatur yang terbaik untuk kita semua, untuk anak-anakku. "

 

Kini sahabat saya sedang rutin menjalani radiasi, merelakan aktivitas kerja yang sangat dia cintai untuk sementara harus terhenti. Ia juga menjadi jauh lebih spiritual, berpikir lebih dalam tentang hidup.

 

"Aku tak henti-henti bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan untuk kesempatan, kenikmatan, keberhasilan, luka, dan semuanya yang pernah aku alami dalam hidup. Aku memaafkan semua orang, aku juga memaafkan kesalahanku sendiri. Intinya aku banyak belajar untuk berdamai dengan diriku sendiri."

 

Kami, orang-orang yang menyayangi, akan terus mendukung dan menjaganya agar ia dapat pulih sepenuhnya, kembali produktif dan kreatif bekerja seperti biasa dan membesarkan anak-anaknya dengan penuh cinta.

 

 

 
Best Regards 


FA Budi


Tidak ada komentar: