Rabu, Oktober 14, 2009

Nania dan Cintanya

Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia 

 mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, 

 hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi 

 bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan 

 Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama 

 herannya.

 Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

 Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari 

 sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. 

 Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

 Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan 

 lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali 

 beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua 

 menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik 

 nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

 Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil 

 dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian 

 di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. 

 Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan 

 Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat 

 karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab 

 kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

 Kamu pasti bercanda!

 Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, 

 disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa 

 dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania 

 bercanda.

 Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang 

 balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

 Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang 

 melamarnya.

 Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli 

 berani melamar anak Papa yang paling cantik!

 Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda 

 baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu 

 berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh 

 selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

 Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif 

 bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa 

 saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

 Nania terkesima.

 Kenapa?

 Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

 Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, 

 sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca 

 puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

 Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. 

 Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan 

 laki-laki manapun yang kamu mau!

 Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa,

 kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian 

 mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

 Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

 Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat 

 tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

 Tapi kenapa?

 Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan 

 biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

 Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

 Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

 Cukup!

 Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi 

 parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana 

 tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan 

 melihat pencapaiannya hari ini?

 Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. 

 Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. 

 Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 

 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah 

 menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya 

 menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

 Mereka akhirnya menikah.

 ***

 Setahun pernikahan.

 Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik 

 di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, 

 Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar 

 tampak di mata mereka.

 Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga 

 Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau 

 cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu 

 sangat bahagia.

 Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

 Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

 Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak

 percaya.

 Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang 

 tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, 

 pintar, dan punya kehidupan sukses!

 Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini

 dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

 Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

 Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!

 Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

 Rafli juga pintar!

 Tidak sepintarmu, Nania.

 Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.

 Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

 Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik 

 mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

 Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli!

 Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah 

 menikah dan sebentar lagi punya anak.

 Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. 

 Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan 

 satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah 

 mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih 

 dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania 

 memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud 

 Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

 Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu 

 khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya 

 maksud baik..

 Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus 

 pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti 

 kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

 Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

 Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, 

 dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji 

 yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika 

 bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

 Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin 

 gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar 

 dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu 

 berada di puncak!

 Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan

 bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan 

 kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

 Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.

 Cantik ya? dan kaya!

 Tak imbang!

 Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania 

 belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan 

 bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

 Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. 

 Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu 

 itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

 ***

 Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu 

 dari waktunya.

 Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera

 dikeluarkan!

 Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke 

 dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga 

 perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, 

 hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

 Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya 

 waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan 

 menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta 

 orangtua Nania belum satu pun yang datang.

 Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat

 pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan 

 melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi 

 pembukaan berjalan lambat sekali.

 Baru pembukaan satu. Belum ada perubahan, Bu. Sudah bertambah sedikit, 

 kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

 Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. 

 Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang 

 tinggi.

 Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, 

 didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu 

 kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

 Masih pembukaan dua, Pak! Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa 

 menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. 

 Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa 

 ditelannya.

 Bang? Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua 

 kehidupan.

 Dokter?

 Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

 Mungkin? Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau 

 begitu? Bagaimana jika terlambat?

 Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang 

 karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar 

 operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

 Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat 

 ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan 

 dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu 

 yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, 

 telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, 

 dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan 

 diri.

 Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir 

 lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

 Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

 Pendarahan hebat!

 Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada 

 varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! 

 Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

 Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali.

 Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

 Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung 

 beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya 

 dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

 Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

 

***

 Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari

 kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga 

 anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu 

 sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak 

 sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

 Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di 

 rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. 

 Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania 

 dengan Rafli.

 Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah 

 sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak 

 perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, 

 dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

 Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran 

 kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. 

 Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili 

 mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan 

 bercanda mesra..

 Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

 Nania, bangun, Cinta? Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil 

 mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

 Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir 

 untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, 

 mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang 

 lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan 

 membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. 

 Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

 Nania, bangun, Cinta?

 Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan 

 Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa

 melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang 

 menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

 Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. 

 Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak 

 bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

 Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, 

 gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di 

 wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

 Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah 

 penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

 Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan 

 mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan 

 airmata yang meleleh.

 Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

 Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. 

 Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun 

 terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke 

 sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu 

 cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja 

 datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang 

 jatuh cinta.

 Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. 

 Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. 

 Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu 

 tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

 Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu 

 meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan 

 paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

 Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. 

 Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, 

 nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti 

 juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu 

 bertahun-tahun.

 Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di 

 sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang 

 berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum 

 hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

 Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di 

 jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas 

 hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua 

 berbisik-bisik.

 Baik banget suaminya! Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

 Nania beruntung! Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

 Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya 

 memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

 Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

 Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin 

 frustrasi, merasa tak berani, merasa?

 Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di 

 luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu 

 begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

 Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah

 mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

 Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, 

 anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan 

 yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi 

 sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah 

 direbut takdir dari tangannya.

 Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa 

 yang tak pernah berubah, untuk Nania.

 -- 

best regards

 

~Vio Chuakep~

(Sumber : Milis e-ketawa.com)

Tidak ada komentar: