Senin, Juni 08, 2009

Siapapun Presidennya, Panther Tetap Mobil Kita!

Akhir-akhir ini kita disuguhi dengan permainan politik para elit. Yang menjadi pikiran saya selaku wong cilik (karena badan saya memang kecil disamping saya tidak punya jabatan kecuali kepala rumah tangga) betapa mudahnya parpol-parpol dan elitnya “beradaptasi” dan “nyiur melambai” kesana kemari. Betapa pergerakan lobi-lobi politik untuk saling berkompromi dan “tarik ulur” terjadi begitu cepat. Kita hanya dapat melihat satu parpol terutama elitnya “mentiyung” kesana kemari untuk mendapatkan bagian dari kue yang namanya kekuasaan. Tidak ada satu partaipun yang ketika berkoalisi memegang platform tertentu dan berpegang teguh pada platform yang sama. Platform tersebut bisa berubah dan berdaptasi dan dikompromikan dengan siapa mereka mau berkoalisi.  

Yang tak kalah menariknya adalah deklarasi para capres dan cawapres. Kalo JK-Win mendeklarasikan pencapresannya di Tugu Proklamasi dengan biaya yang tak banyak. SBY Berboedi mendeklarasikan dirinya di gedung Sabuga dengan acara yang mewah dan meriah bahkan dikatakan mirip dengan pendeklarasian Obama di Amerika. Mega-Pro lain lagi, mereka mau mendeklarasikan pencapresan mereka di perkampungan kumuh dengan acara yang sederhana untuk menarik simpati rakyat.

Sekali lagi sebagai wong cilik saya hanya bisa tersenyum menyaksikan tingkah laku mereka. Mungkin inilah “trik marketing” mereka menjual diri. Tetapi ini bukan bidang saya mungkin ini lebih tepat dikupas oleh Pak Hermawan.

Sambil ngopi iseng-iseng saya baca Jawa Pos. Ada judul gede “Sultan Minta Maaf-Gagal Maju Capres, Nilai Tidak Perlu Pisowanan Agung”. Saya hanya bisa tersenyum simpul. Saya jadi inget komentar isteri saya waktu Sultan mendeklarasikan “Sultan For President!” dalam pisowanan agung di Alun-alun Jogja. “Lha iyo, mbok Sri Sultan itu anteng dan jumeneng di Kraton, kedudukannya kan sudah raja Mataram kan lebih Agung dan Terhormat, masak masih mau jadi presiden segala. Apa ya nantinya malah ndak kajen (terhormat)”. “Yah namanya juga usaha Mah Mah...”kataku menimpali. Dan sekarang terbukti perkataan isteri saya dan kayaknya Sultan malu sehingga permintaan maafnya cukup lewat pemberitahuan saja tanpa Pisowanan Agung.

Namanya politik memang tidak bisa diduga, kawan bisa jadi lawan, musuh dadi iso ora weruh. Tetapi akhir dari semua gegap gempita dan “panggung sandiwara” ini ya tetap sama. Kayak jargon cerdas iklan otomotif yang saya baca di koran “Siapapun Presidennya, Panther Tetap Mobil Kita”. Bahkan tukang ojeg didepan gang saya punya jargon tandingan “ Siapapun Presidennya, Tukang Ojeg tetap pekerjaan kita! Mas”.
Hidup tukang ojeg! He he he......


Tidak ada komentar: